Saturday, April 21, 2007

Foto Gunung Gede

Wahai kawanku tercinta
Keringkan air matamu
Jangan kau tangisi lagi dirimu
Karena hidupmu masih’kan berarti

Kepalkan lagi tanganmu
Leburkan perih hatimu
Kuatkan langkah kakimu, kawanku
Untuk menapak hari depan nanti
Uluran tanganku ini
Tak tertandingkan
oleh hancurnya hatimu

saat dia meninggalkan dirimu
tak pernah semudah bicara
takkan semudah ku berkatanamun, percayalah bahwa esok hari
semua'kan berganti lebih baik
(Padi, 26 Desember)


Kembali kugoreskan tinta di pagi hari ini. Sejuta perasaan berkecamuk, yah itulah hidup. Penuh dengan kecamuk perasaan. Sekarang tertawa, semenit kemudian menangis. Lalu tertawa kembali dan menangis kemudian, begitulah siklusnya secara umum.

Banyak kiasan yang terkadang membingungkan, sebuah misteri yang harus terungkap, itulah hidup.
Kulipat cerita ini dalam tusukan taduk dan tumpukan sisik kolam. Aku hanya senang membaca dan menuliskan bait-bait lagu diatas, mengalihkan sejenak pandangan.
Kuharap bukan suatu kesia-sian yang didapat. Sering Aku menatap kata-kata yang entah milik siapa dan rangkaian kata-kata kehidupan yang juga entah itu milik siapa. Hanya angin yang mencatat isyarat melalui kata-kata.

Barangkali di tempat seperti ini bisa kupahami semuanya.

Dengan hati rawan kuantar engkau, hingga batas pertemuan kita. Inilah akhir kisah yang tertulis. Di ujung jalan angin berhembus dari selatan. Kupunguti dedaunan yang berguguran dan kusimpan dalam getar dadaku, cinta itu tidak selamanya harus memiliki. Hanya terucap, ”Kutunggu engkau di sini, dalam tulisan ini”
Rongsokan matahari mulai mengoyak jendela hati. Pagi telah tercipta, begitupun juga dengan siang dan malam. Semua seakan kembali dilahirkan, mempersolek diri dengan harapan, cita-cita, dan sebuah nilai keabadian. Bertebaran keseluruh seantero jagat merayu keganasan siang yang terik.

Kuingin semua layar mengembang, tumbuh menjadi bunga di benak orang-orang. Semoga aku belum letih mengangkutnya.

Di pundak-pundak yang lebam, keranjang batinku sudah berlumuran dengan peluh dan kesah. Hatiku gugur, patah, layu lalu terhempaskan. Jika bukan karena kesabaran , masih tahankah aku memikulnya? Tapi hingga saat ini, kaki ini masih tulus berjalan di kegelapan ilalang yang kelam. Tapi yakinlah, dari tepian kecil ini, aku tak akan pernah lelah! Jika tiba saatnya nanti melepas lelah, aku ingin bunga-bunga itu tumbuh dan berkembang di benak semua orang.
Kulihat orang-orang berlarian ke cakrawala sore, bersemangat mengejar harapan-harapan yang menjelma menjadi jurang.

Ketahuilah bahwa sesungguhnya maut dan gairah adalah sebuah takdir! Seperti waktu, hari semakin gelap melontarkan keheningan ke dasar kabut. Dari balik kecemasan kulihat malam. Perbatasan waktu yang menandakan kekuasaaan dan kebesaran-Nya, hadir melalui penggalan-penggalan dzikir.

Ratusan kunang-kunang berdengungan dalam tarian malam yang indah bersama dzikir yang terucap. Matahari telah berangkat. Aku tak tahu apakah ia masih menyala ataukah tiada di esok hari. Detik demi detik telah berjatuhan dari kalender dinding kamarku.
Sesekali tercium bau tanah tubuhku. Aku tak berani menatap langit. Inilah rahasia senja, usia yang terbuang, maut yang terkadang mengundang dan menghindar.

Mungkin kuburanku telah sampai, di sinikah kubangun kubur itu?...tapi biarlah, aku bangga. Bangga menjadi orang cerdas seperti yang dikatakan oleh Rasulku.

Sekedar meluangkan waktu, aku menulis sajak di dadaku. Cobalah kau terka apa yang tidak pasti dari goresan lusuhku. Dengan jantung terbelah kucoba memahami. Kecemasan, kekalutan, ketakutan...? ah, tak pernah kuhiraukan lagi. Walaupun, saat ini aku masih menangis nasib di kedua tanganku.
Walaupun aku harus memanggil sajak sambil memekik dan membanting tubuh. Namun, aku masih bercerita lewat tatapan mataku. Rinduku yang mewasiatkan agar aku bangkit meskipun harus menjadi ulat.

Aku adalah lilin yang kelak menjadi matahari.

Itulah bentangan hidupku. Gelombang laut yang selalu mengapungkan maut, Ombak yang senantiasa menghantam karang rapuh hati ini dan genangan rindu yang menunggu. Apa yang bisa kubaca dari yang terbaca dan yang tak terduga? Langit-langit kamar hanya mendongengkan harapan. Kulihat sosok-sosok hujan, mengucur dari kejauhan. Melagukan malam, memetik angin yang menari di antara detak jam. Menghempaskan kesunyian.

Seperti buih-buih menepi, aku semakin jauh diseret waktu. Serupa orang buta, aku menerka warna-warna pada sebuah lukisan tua yang dihapus cuaca. Meski hati bermata, tapi aku tak mampu memberi nama.

Aku tahu, gelombang senantiasa menggenangkan rindu pada daratan maut yang menunggu. Malam telah tua, iringan doa terucap tak henti-henti. Atas nama Cinta, semua'kan berganti lebih baik. Semoga esok matahari tetap tersenyum...

Sadur menyadur menjadi satu kesatuan yang elok
Salam
pipin


No comments: